KEARIFAN LOKAL KABUPATEN KUDUS

| | 0 komentar



KEARIFAN LOKAL KABUPATEN KUDUS

Tugas ini disusun guna untuk
Memenuhi  tugas Pendidikan Lingkungan Hidup tahun 2013





Disusun Oleh          
Nama                    : Irma Damayanti
NIM                      : 3201412077
Rombel                 : 8



JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013
        
                 Kudus merupakan kabupaten terkecil di Jawa Tengah dengan luas wilayah mencapai 42.516 Ha/425,17 km² atau sekitar 1,31 persen dari luas Provinsi Jawa Tengah. 48,40% merupakan lahan sawah dan 51,60% adalah bukan sawah. Letak Kabupaten Kudus antara 110 36′ dan 110 50′ BT dan antara 6 51′ dan 7 16′ LS. Jarak terjauh dari barat ke timur adalah 16 km dan dari utara ke selatan 22 km. Batas Kabupaten Kudus:
Sebelah Utara             : Kabupaten Jepara dan Kabupaten Pati
Sebelah Timur                        : Kabupaten Pati
Sebelah Selatan          : Kabupaten Grogogan dan Kabupaten Pati
Sebelah Barat             : Kabupaten Demak dan Kabupaten Jepara
secara administratif, Kabupaten Kudus terbagi dalam 9 kecamatan (Kota, Jati, Jekulo, Bae, Dawe, Kaliwungu, Gebog, Mejobo dan Undaan), 123 desa, 9 kelurahan. Kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Dawe yaitu sekitar 8.584 Ha (20,19 %) sedangkan yang paling kecil adalah Kecamatan Kota seluas 1.047 Ha (2,46 %) dari luas Kabupaten Kudus.
Sebagian besar wilayah Kabupaten Kudus adalah dataran rendah. Di sebagian wilayah utara terdapat pegunungan (yaitu Gunung Muria), dengan puncak Gunung Saptorenggo (1.602 m dpl), Gunung Rahtawu (1.522 m dpl), dan Gunung Argojembangan (1.410 m dpl). Sungai terbesar adalah Sungai Serang yang mengalir di sebelah barat, membatasi Kabupaten Kudus dengan Kabupaten Demak. Kudus dibelah oleh Sungai Gelis di bagian tengah sehingga terdapat istilah Kudus Barat dan Kudus Timur.
Kabupaten Kudus  memiliki kearifan lokal yang telah menjadi gagasan, nilai, serta pandangan masyarakat di Kabupaten Kudus. Kearifan lokal, terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) atau kebijaksanaan dan lokal (local) atau setempat. Jadi kearifan lokal adalah gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

            Menurut Gobyah nilai terpentingnya adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional.
Menurut Antariksa (2009), kearifan lokal merupakan unsur bagian dari tradisi-budaya masyarakat suatu bangsa, yang muncul menjadi bagian-bagian yang ditempatkan pada tatanan fisik bangunan (arsitektur) dan kawasan (perkotaan) dalam geografi kenusantaraan sebuah bangsa. Dari penjelasan beliau dapat dilihat bahwa kearifan lokal merupakan langkah penerapan dari tradisi yang diterjemahkan dalam artefak fisik. Hal terpenting dari kearifan lokal adalah proses sebelum implementasi tradisi pada artefak fisik, yaitu nilai-nilai dari alam untuk mengajak dan mengajarkan tentang bagaimana ‘membaca’ potensi alam dan menuliskannya kembali sebagai tradisi yang diterima secara universal oleh masyarakat, khususnya dalam berarsitektur. Nilai tradisi untuk menselaraskan kehidupan manusia dengan cara menghargai, memelihara dan melestarikan alam lingkungan. Hal ini dapat dilihat bahwa semakin adanya penyempurnaan arti dan saling mendukung, yang intinya adalah memahami bakat dan potensi alam tempatnya hidup; dan diwujudkannya sebagai tradisi.
Definisi kearifan lokal secara bebas dapat diartikan nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam suatu masyarakat. Hal ini berarti, untuk mengetahui suatu kearifan lokal di suatu wilayah maka kita harus bisa memahami nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam wilayah tersebut. Sebenarnya nilai-nilai kearifan lokal ini sudah diajarkan secara turun temurun oleh orang tua kita kepada kita selaku anak-anaknya. Budaya gotong royong, saling menghormati dan tepa salira merupakan contoh kecil dari kearifan lokal.





1). Budaya
1.     Kearifan Lokal Masyarakat Kudus Kulon dalam tradisi Perawatan Rumah Pencu
Keberadaan rumah tradisional di Kudus memiliki keberagaman, yaitu rumah Pencu dan rumah Payon (rumah Payon Limasan Maligi Gajah dan rumah Payon Kampung).
Persebaran rumah Pencu yang terdapat di Kudus tersebar di wilayah Kudus Kulon dan Kudus Wetan. Di Kudus Kulon kondisi eksisting rumah Pencu sekarang ini masih bisa dijumpai dengan jumlah yang cukup banyak jika dibandingkan dengan kondisi eksisting rumah Pencu di daerah Kudus Wetan. Adanya perbedaan jumlah yang sangat signifikan tersebut sangat erat kaitannya dengan perkembangan lingkungan dan tata ruang dikedua wilayah tersebut. Di Kudus Kulon kondisi lingkungannya relatif tidak banyak mengalami perubahan dari tahun ke tahun, sedangkan di Kudus Wetan perubahan lingkungannya begitu pesat.
Rumah Pencu merupakan salah satu bagian dari hasil budaya materi yang berasal dari masyarakat Kudus pada masa lalu. Identitas mengenai tingkat budaya masyarakatnya tercermin melalui arsitektur, ragam hias serta konsepsi yang melatarbelakangi rumah tersebut.
Masyarakat Kudus memiliki cara tersendiri dalam merawat rumah tinggalnya yang berupa rumah kayu tersebut dari beberapa generasi yang lampau. Kearifan lokal tersebut terihat dari bagaimana masyarakat Kudus mengkonservasi rumah Pencu yang berbahan utama kayu dengan ramuan tradisional dari leluhur mereka.
Pada rumah tradisional Kudus khususnya rumah Pencu, perawatan terhadap komponen bangunan yang sebagian besar terbuat dari bahan kayu sangat diperhatikan. Terdapat beberap tahapan dalam prosesi perawatan dalam rumah tradsional tersebut. Sedangkan dalam masyarakat Kudus Kulon telah terdapat sebuah profesi yang memang khusus dalam penanganan perawatan rumah kayu dan ukir.
Proses perawatan rumah Pencu ataupun rumah tradisional pada dasarnya memiliki kesamaan. Proses perawatan rumah Pencu dilakukan oleh masyarakat pemiliknya sendiri dengan cara tradisional dan turun-temurun dari generasi ke generasi. Proses perawatan rumah tersebut menggunakan beberapa ramuan tradisional yang biasa terdapat di lingkungan sekitar rumah atau wilayah Kudus Kulon. Beberapa ramuan yang dipergunakan dalam perawatan rumah Pencu adalah rendaman pelepah pisang atau lebih dikenal dengan sebutan air pelepah pohon pisang dan tembakau (APT), air merang, dan air rendaman cengkeh (ARC).
Proses perendaman ramuan tersebut berbeda-beda waktunya dan yang paling singkat adalah rendaman air merang dan air pelepah daun pisang-tembakau yang rata-rata memakan waktu sekitar 7 hari, sedangkan rendaman air cengkeh lebih dari 7 hari. Proses pencucian rumah berlangsung bisa berlangsung 2 bulan atau lebih, hal ini disebakna oleh tingkat kemampuan ekonomis setiap pemiliki rumah dalam memperkerjakan ahli perawatan rumah Pencu. Menurut bapak Sariyon, salah satu orang yang berprofesi dalam merawat atau mencuci rumah tradional Kudus atau rumah Pencu, hanya orang-orang tertentulah yang bisa mencuci rumah Pencunya, dan biasanya setiap tahun berlangsung dua kali proses pencuciaannya. Penggunaan ramuan tersebut terbukti efisien dan efektif mampu mengawetkan kayu jati, bahan dasar Rumah Adat Kudus, dari serangan rayap (termite) dan sekaligus meningkatkan pamor dan permukaan kayu menjadi lebih bersih, karena ramuan APT dan ARC dioleskan berulang-ulang ke permukaan dan komponen-komponen bangunan kayu jati.

2.   Kearifan Lokal Buka Luwur

Buka luwur merupakan upacara penggantian kain klambu penutup makam yang berlangsung tiap tahun. Upacara buka luwur diawali dengan penglepasan luwur lama dan dilanjutkan dengan pemasangan luwur yang baru. Upacara ini dirangkai dengan pengajian umum dan tahlil bersama.
a.      Buka luwur Sunan Kudus dilaksanakan setiap tanggal 10 Syuro      ( 10 Muharram )
b.      Buka luwur Sunan Muria dilaksanakan setiap tanggal 16 Syuro
Ribuan meter luwur yang menutupi makam diganti dengan luwur baru  hasil sumbangan masyarakat. Luwur lama dibagi secara gratis kepada warga sekitar, bahkan di Makam Mutamakin, luwur dilelang kepada pengunjung hingga mencapai nilai puluhan juta. Luwur paling keramat dan mempunyai nilai jual tinggi adalah yang berada di bagian nisan yang bagian kepala.
Luwur yang hanya sebuah kain mori pada gilirannya mempunyai makna mistis di kalangan masyarakat karena ada alunan doa dan berkah yang melekat di dalamnya. Warga melihat benda metafisis untuk menggapai yang metafisis. Kepercayaan warga demikian sama halnya dengan animisme maupun dinamisme, hanya saja dipisahkan oleh muatan ilahiah pada umat muslim kekinian.
Buka luwur dalam tradisi makam-makam keramat dilakukan satu tahun sekali seperti halnya merayakan ulang tahun. Setiap makam mempunyai tanggal yang menjadi acuan. Sehingga masyarakat bisa menyiapkan diri untuk terjun sebagai relawan atau donator acara.
Bubur Asyuro Sunan Kudus Kuliner lokal yang berhubungan dengan upacara pada situs wisata ziarah di Kudus pada situs ini khususnya adalah pada saat upacara bukak luwur, yaitu upacara penggantian kelambu pada makam Sunan Kudus. Ketika upacara tersebut berlangsung, disediakan bubur Asyuro dan nasi jangkrik yang dapat dinikmati oleh semua pengunjung. Ibu-ibu sibuk mempersiapkan bubur Asyura pada saat upacara tradisi bukak luwur pada makam Sunan Kudus. Puluhan ibu-ibu ini mempersiapkan ratusan pepes bubur Asyura yang akan dibagikan ke masyarakat sekitar. Bubur ini dibuat ketika bulan Syura tiba. Bulan Syura merupakan sebutan lain dari bulan Muharram, bulan pertama dalam kalender Islam (Hijriyyah). Bubur Asyura dipertahankan, konon karena merupakan bancakan (sedekah) Nabi Nuh ketika selamat dari banjir bandang pada tanggal 10 Muharram (dalam bahasa Arab disebut Asyura atau hari ke sepuluh). Tradisi selametan dengan bubur Asyura inipun hingga sekarang terus dilangsungkan dalam buka luwur. Biasanya, bubur Asyura ini dibuat dan dibagikan sehari sebelum puncak buka luwur tiba, yakni pada tanggal 9 Muharram. Mahmudah, salah satu ibu yang sibuk menyiapkan bubur Asyura di Masjid Al-Aqsha mengatakan, bubur Asyura dibuat dari 8 bahan yang berbeda. ’’Ada beras, jagung, kedelai, ketela, tolo, perempuan. ’’Bubur ini diantarkan ke rumah-rumah penduduk sekitar,’’ katanya. Selain dibagi ke masyarakat, bubur ini juga dibuat sebagai bancakan usai para ibu-ibu melakukan pembacaan Albarzanji di Pawestren Masjid. Bubur Asyura juga ditunggu masyarakat seperti halnya nasi jangkrik yang dipercaya mengandung banyak berkah dari Sunan Kudus.
Nasi Jangkrik Sunan Kudus, Satu hal yang sangat diharapkan warga dalam prosesi bukak luwur adalah pembagian nasi yang ditempatkan pada keranjang bambu yang sudah dimasak malam sebelum prosesi berlangsung. Mereka rela antre sejak semalam sebelum acara, demi mendapatkan nasi tersebut. Nasi keranjang atau lebih sering disebut nasi jangkrik ini, memang sangat diharapkan warga. Tidak salah, kalau sejak subuh, area makam Sunan Kudus penuh sesak oleh warga yang mengharapkan nasi tersebut. Cerita soal mereka yang pingsan seringkali terjadi saat pembagian nasi jangkrik. Ribuan bungkus nasi jangkrik dibagikan kepada warga. Di dalam nasi itu sendiri, hanya terdapat nasi dan sedikit daging kerbau atau kambing yang dibungkus dengan daun jati. Daging tersebut dimasak menggunakan bumbu garang asem atau sering disebut bumbu jangkrik. Sebab itulah, nasi bungkus tersebut biasa disebut nasi jangkrik. Prosesi pembagian nasi jangkrik ini adalah salah satu dari rangkaian acara buka luwur atau selamatan Kanjeng Sunan Kudus.
Dimensi sosial yang muncul dari buka luwur adalah adanya kebersamaan dan kesetiakawanan yang saat ini jarang ada. Buka luwur bisa dikategorikan sebagai pesta rakyat, karena antusias masyarakat yang mengikuti serta panitia acara. Dalam sebuah acara setidaknya melibatkan ratusan masyarakat yang turun tanpa dikomando dan dibayar dengan upah rupiah. Karena mereka akan cukup jika ada hasil sajian kuliner yang bisa dibawa pulang sebagai bagian dari ngalap berkah, serta sepotong kain luwur yang selalu disimpan untuk kepentingan pribadi.
Panitia buka luwur menerima sumbangan tidak dibatasi dari masyarakat muslim saja, warga nonmuslim pun ikut ambil alih. Panita bahkan tidak membatasi jumlah sumbangan yang diberikan, karena buka luwur adalah hajat masyarakat, maka besar kecilnya kegiatan tergantung pada masyarakat. Panitia buka luwur Makam Sunan Kudus, misalnya, tidak membuat proposal atau permohonan bantuan kepada pihak luar. Besar atau kecil acara tidak memengaruhi kekhidmatan buka luwur. Semua berjalan apa adanya sesuai dengan tradisi dan tidak dibuat-buat. Makna dan kekhusyuan menjadi taruhan.
Modal sosial yang terkuak melalui kebersamaan dan sikap saling tolong menolong merupakan aset besar dalam kehidupan bermasyarakat. Sebuah bangunan sosial yang akan menjadikan cerahnya masa depan kemanusiaan. Anggota masyarakat yang jauh berada dipersatukan oleh even agama untuk sekadar datang berziarah hingga ikut menyukseskan acara.  Jiwa yang mempunyai kesamaan visi dan misi bertemu dan membangun jalinan kemanusiaan untuk menggapai sebuah maqam ilahiah. Sehingga buka luwu menjadikan amat berkesan dan meninggalkan keakraban sosial.
Anak muda ataupun anak-anak yang mengikuti buka luwur akan dikenalkan dengan tradisi masyarakat yang menuduhkan perawatan terhadap jalinan pesaudaraan. Meski terkadang di benak anak-anak baru sebatas perayaan agama, tetapi saat menginjak dewasa kemudian tua, akan terbersit memory purba dimana persaudaraan terjalin.
Tantangan memertahankan makna dan hikmah dari sebuah tradisi kuno yang berlangsung di zaman modern adalah gempuran pemahaman ekonomi. Dalam kaca mata industri pariwisata dan ekonomi masyarakat tradisi tersebut adalah objek penggalian keuntungan.
Dampak positif buka luwur dalam  industri pariwisata sangat besar. Puluhan ribu orang dari berbagai penjuru Indonesia mengkhususkan diri datang. Wisatawan di lokasi makam keramat justru menemukan puncak wisatawan. Secara tak langsung denyut ekonomi lokal sekitar makam terangkat.
Buka luwur kemudian menjadi tradisi yang hidup berkat gairah masyarakat untuk menjaga kearifan lokal dan nilai di dalamnya. Timbal baliknya buka luwur pun menghidupi warga. Sehingga terjadi hubungan mutualisme yang menghantarkan tradisi terus berjalan.
Daya kekuatan pemersatu dari buka luwur merupakan modal sosial bagi keberlangsungan tatanan masyarakat yang saling memerhatikan. John Field dalam bukunya Modal Sosial (2010) memerlihatkan bahwa dalam masyarakat modern modal sosial telah runtuh tergantikan dengan dominasi individualism semata. Jikapun modal sosial tetap ada, hanya menjadi alat memeroleh kekuasaan atau fasilitas nyaman sekolompok orang melalui lobi-lobi tertentu. Maka kembali pada adat tradisi lokal yang sarat kearifan adalah tawaran yang mencerahkan.
Tak harus larut dalam buka luwur sebagai bentuk tunggal, membumikan sikap saling peduli bisa diciptakan dalam ruang privat ataupun publik secara berbarengan. Buka luwur menawarkan keterkaitan sosial lintas batas.

3.   Kearifan Lokal Kupatan dan Syawalan

Di setiap perayaan hari raya Lebaran, dimana umat muslim selesai menjalankan puasa selama satu bulan penuh, kita dapat menemukan ketupat hampir di setiap rumah yang merayakannya. Makanan yang terbuat dari beras dan dimasak dalam balutan daun kelapa ini memang identik dengan lebaran. Dengan sajian pendamping sayur opor, ketupat selalu menghiasi meja-meja pada perayaan idul fitri.
Kiblat papat lima pancer ini, dapat juga diartikan sebagai empat macam nafsu manusia, yaitu amarah, yakni nafsu emosional ; aluamah atau nafsu untuk memuaskan rasa lapar ; supiah adalah nafsu untuk memiliki sesuatu yang indah dan mutmainah, nafsu untuk memaksa diri.
Keempat nafsu ini yang ditaklukkan orang selama berpuasa. Jadi, dengan memakan ketupat orang disimbolkan sudah mampu menaklukkan keempat nafsu tersebut. Tradisi syawalan yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu, kini dilestarikan oleh organisasi-organisasi Islam, maupun instansi pemerintah dan swasta dengan istilah halal bihalal. Menariknya, peserta halal bihalal, tidak hanya umat Islam, tetapi seluruh warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama, suku, ras dan golongan.
Tradisi itu bukan lagi milik umat Islam dan masyarakat Jawa saja, tetapi menjadi milik segenap bangsa Indonesia. Tradisi ini juga kaya dengan kearifan dan kesalehan yang relevan dengan konteks kekinian. Ia bisa diartikan sebagai hubungan antarmanusia untuk saling berinteraksi melalui aktivitas yang tidak dilarang, plus mengandung sesuatu yang baik dan menyenangkan. Maka, berhalal bihalal, mestinya tidak semata-mata dengan memaafkan melalui perantara lisan atau kartu ucapan selamat saja, tetapi harus diikuti perbuatan yang baik dan menyenangkan bagi orang lain khususnya yang diajak berhalal bihalal.Syawalan juga merekatkan persatuan dan kesatuan, dan mendorong orang untuk jujur.
Adanya kerelaan untuk saling memaafkan, sudah membuktikan mencairnya individualitas, strata sosial, egoisme, sektarian dan sebagainya. Orang juga dituntut untuk jujur, mau mengakui kesalahan dan lantas meminta maaf. Kejujuran dan kerelaan hati untuk memaafkan ini, merupakan terapi psikologis yang sangat ampuh bagi setiap orang. Pasalnya, dengan lepas dan hilangnya dosa-dosa, orang akan merasa damai, tenang dan tentram.
Pada akhirnya, dalam masyarakat yang kian terkepung aneka kepentingan primordial atau kepentingan yang mengatasnamakan apa pun yang eksploitatif dan tiranik, penuh konflik kepentingan bahkan sampai pertikaian atau perang, Idul Fitri dengan tradisi syawalannya, diharapkan mampu menghadirkan kesejukan, keharmonisan, dan obat-obat kemanusiaan lainnya.
Tradisi kupatan berasal dari jaman para wali yang juga menyebarluaskan agama islam di wilayah Jawa. Kalau melihat dari katanya, kupatan sendiri berasal dari kata kupat yang dalam bahasa jawa bermakna “ngaku lepat” atau mengaku salah. Sebenarnya tradisi ini pada masa dulu dilaksanakan pada hari ke-37 atau sesudah puasa yang ke-36. Kupatan dilaksanakan di berbagai daerah antara lain di Bulusan Desa Hadipolo (Kec. Jekulo), Desa Kesambi (Kec. Mejobo), Sendang Jodo Desa Purworejo (Kec. Bae).

4.   Kearifan Lokal Dandangan

Dandangan yaitu tradisi menyambut datangnya Bulan Ramadhan / bulan puasa yang dilaksanakan di sekitar Menara Kudus. Puncak acara adalah pada malam 1 Ramadhan. Masyarakat berkumpul di sekitar Masjid Menara Kudus untuk mendengarkan pengumuman dan bedug yang dipukul bertalu-talu sebagai tanda dimulainya ibadah puasa keesokan harinya. Banyaknya masyarakat yang berkumpul tersebut dimanfaatkan para pedagang kecil dan mainan anak-anak untuk menjajakan dagangannya.

5.     Kearifan Lokal Ampyang Maulid

Ampyang merupakan salah satu acara tradisional yang bertujuan untuk memperingati hari kelahiran Nabi besarMuhammad SAW. Ampyang dilaksanakan di Desa Loram Kulon.Berdasaran cerita, ampyang adalah sejenis krupuk bentuk bulat dan beraneka warna yang dijadikan hiasan tempat makan dari bambu ( didalamnya terdapat nasi dan lauk pauk ) diusung ke Masjid Wali At Taqwa Loram Kulon.

6.        Kearifan Lokal Sewu Kupat

Sewu Kupat merupakan tradisi masyarakat Desa Colo untuk memperingati Hari Raya Idul Fitri. Pelaksanaan tradisi setelah 1 minggu hari raya idul fitri. Kegiatan ini diadakan atas dasar rasa syukur masyarakat Colo yang telah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa.

 

7.    Kearifan Lokal Resik-Resik Sendang dan Nyiwer Desa

Desa Wonosoco berbatasan dengan sebelah timur Pati dan Grobogan         ( selatan ). Selain alamnya yang indah desa di Kecamatan Undaan ( 22 km selatan Kota Kudus ). Prosesi ritual adat resik-resik sendang digelar warga Desa Wonosoco dengan mengarak hasil bumi keliling kampung menuju sendang. Dilakukan setahun sekali yakni satu bulan jelang Ramadan digelar prosesi resik-resik sendang pada Sendang Dewot dan Sendang Gading, yang airnya tidak pernah habis. Warga menggantungkan air sendang untuk minum, masak dan mandi. Oleh Pemerintah Kabupaten acara ini ditingkatkan dengan melibatkan pemerintah dan tokoh masyarakat, bekerja sama dengan seniman di Kudus dan Sakapanduwisata. Banyak potensi wisata yang bisa dikembangkan yaitu bisa digunakan untuk lokasi bumi perkemahan, wanawisata. Disini juga terdapat pertunjukan wayang klithik dimana dalang harus memiliki garis keturunan dari dalang sebelumnya. Disebut wayang klithik, karena suara yang ditimbulkan bunyinya klithik-klithik.

2). Potensi

a.     Sumber  Daya Manusia
Kudus merupakan daerah industri dan perdagangan, dimana sektor ini mampu menyerap banyak tenaga kerja dan memberikan kontribusi yang besar terhadap PDRB. Industri yang terdapat di Kabupaten Kudus beragam macamnya. Jiwa dan semangat wirausaha masyarakat diakui ulet, semboyan jigang (ngaji dagang) yang dimiliki masyarakat mengungkapkan karakter dimana disamping menjalankan usaha ekonomi juga mengutamakan mencari ilmu. Dilihat dari peluang investasi bidang pariwisata, di Kabupaten Kudus terdapat beberapa potensi yang bisa dikembangkan baik itu wisata alam, wisata budaya maupun wisata religi. Bidang agrobisnis juga ikut memberikan citra pertanian Kudus. Jeruk Pamelo dan Duku Sumber merupakan buah lokal yang tidak mau kalah bersaing dengan daerah lain. Dalam hal seni dan budaya, Kudus mempunyai ciri khas yang membedakan Kudus dengan daerah lain. Diantaranya adalah seni arsitektur rumah adat Kudus, kekhasan produk bordir dan gebyok Kudus. Dengan kondisi geografis terletak pada persimpangan jalur transportasi utama Jakarta-Semarang-Surabaya dan Jepara-Grobogan, Kabupaten Kudus merupakan wilayah yang sangat strategis dan cepat berkembang serta memiliki peran utama sebagai pusat aktivitas ekonomi.

b. Sumber Daya Alam
·          Pertanian jambu bol, di Desa Jati
·          Pertanian duku Sumber, di Desa Hadipolo
·          Gunung Muria, Gunung Muria adalah sebuah gunung di wilayah utara Jawa Tengah bagian timur, yang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Kudus di sisi selatan, di sisi barat laut berbatasan dengan Kabupaten Jepara, dan di sisi timur berbatasan dengan Kabupaten Pati. Di kawasan ini terdapat tempat yang sangat legendaris peninggalan Wali Songo, yaitu pesanggrahan di kawasan puncak Gunung Muria yang dalam sejarah negeri ini merupakan basis pesanggrahan di mana Kanjeng Sunan Muria menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Di sini pulalah Sunan Muria dimakamkan. Nama Gunung Muria dan daerah Kudus dinamakan berdasarkan nama Bukit Moria dan kota Al-Qudus/Baitul Maqdis/Yerusalem
·          Gunung Rahtawu, Rahtawu adalah desa di kecamatan Gebog, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia.Banyak petilasan disana. Rahtawu terletak di daerah paling atas dari Kecamatan Gebog, Kudus. Desa Rahtawu ini terdiri dari sebuah lembah hijau yang dikelilingi bukit-bukit terjal. Kehidupan masyarakatnya sebagian besar adalah petani. Padi dan kopi merupakan komoditas unggulanan. Di desa Rahtawu juga memiliki potensi wisata yang sangat menarik. Karena mernurut Pemerintah Kabupaten Kudus sendiri, potensi wisata yang dapat dikembangkan di Kec.Gebog adalah Rahtawu. Di kawasan ini, dengan ketinggian ± 1.627 m dari permukaan air laut, pengunjung dapat menikmati panorama alam pegunungan yang asri dan indah mempesona dengan udara yang bersih, segar dan sejuk. Di desa ini terdapat gunung yang terkenal dengan sebutan Wukir Rahtawu. Gunung ini terletak di sebelah gunung Muria. Letak geografis desa Rahtawu sendiri seharusnya bisa menarik minat masyarakat untuk melakukan wisata. Bagi para pecinta alam (penjelajahan alam, hiking, dll.) dapat menyusuri jalan setapak menjelajahi medan pegunungan Rahtawu untuk menaklukkan puncak gunung wukir yang disebut dengan puncak Songo Likur. Selain itu, di kawasan itu juga terdapat mata air sungai yang cukup besar di Kudus, yaitu mata air Kali Gelis. Potensi wisata yang lain adalah adanya budaya yang unik bagi masyarakat Rahtawu, yaitu budaya tanah jawa yg teramat kental dan masih berbau mistik. Rahtawu mempunyai daya tarik tersendiri bagi mereka yang suka melakukan ritual ziarah. Di kawasan Rahtawu banyak menyimpan petilasan dengan nama-nama tokoh pewayangan leluhur Pandawa. Sebut saja petilasan Eyang Sakri, Lokajaya, Pandu, Palasara, Abiyoso. Selain itu di sana juga ada kawasan yang diberi nama Jonggring Saloka dan Puncak Songolikur. Petilasan pertapaan tersebut diyakini dahulu kala memang benar-benar merupakan tempat bertapanya “para suci” yang “Eyang” oleh penduduk. Namun demikian, potensi wisata yang sangat besar di desa Rahtawu tersebut belum sepenuhnya bisa dimanfaatkan dengan optimal. Terbatasnya dana yang dimiliki oleh baik pemerintah desa maupun pemerintah kabupaten menjadi hambatan terbesar. Oleh karena itu dibutuhkan investor yang berasal dari pihak swasta agar mau menanamkan modal di Rahtawu, khususnya sektor pariwisata. Masyarakat daerah lain juga belum begitu familiar dengan nama Rahtawu, jika dibandingkan dengan Colo yang terletak di kecamatan Dawe. Hal itu bisa dikarenakan masih minimnya promosi akan potensi wisata di desa Rahtawu itu sendiri. Oleh karena itu, promosi potensi wisata di desa Rahtawu harus di tambah. Salah satu media yang bisa digunakan adalah dengan menggunakan website. Dengan media website semua pihak bisa mengakses informasi tentang pariwisata di daerah Rahtawu dengan mudah, karena pengguna internet di Indonesia semakin bertambah. Diharapkan dengan adanya website tersebut ada dua pihak yang tertarik. Pihak pertama adalah masyarakat Kudus maupun daerah sekitar Kudus. Mereka bisa mengetahui adanya tempat sebagai salah satu alternative wisata yang menarik di desa Rahtawu. Pihak yang kedua adalah para investor. Para investor bisa mengetahui potensi-potensi yang bisa dikembangkan berhubungan dengan wisata di desa rahtawu. Dengan demikian, sektor pariwisata bisa menjadi salah satu sektor yang diunggulkan di desa Rahtawu.
·          Air Terjun Monthel, di Desa Colo
·          Air Tiga Rasa Rejenu, di Desa Japan
·          Air Terjun Gonggomino, di Desa Rahtawu
·          Persawahan dan Perkebunan
2). Industri
Perkembangan perekonomian di kudus tidaklah lepas dari pengaruh perindustrian. Beberapa perusahaan industri besar yang ada di Kudus adalah PT. Djarum (Industri Rokok), Petra, PR. Sukun (Industri Rokok), PT. Nojorono, PT. Hartono Istana Teknologi (d/h Polytron - Industri Elektronik), PT. Pura Barutama (Industri Kertas & Percetakan). Selain itu di Kudus juga terdapat ribuan perusahaan industri kecil dan menengah. Salah satu perusahaan yang berpengaruh adalah PT. Djarum, PT Djarum adalah sebuah perusahaan rokok yang bermarkas di Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Sejarah Djarum berawal saat Oei Wie Gwan membeli usaha kecil dalam bidang kretek bernama Djarum Gramophon pada tahun 1951 dan mengubah namanya menjadi Djarum. Awalnya perusahaan ini hanya dijalan oleh sekitar 10 orang di jalan Bitingan Baru No. 28 (Sekarang: Jalan A.Yani No. 28). Oei mulai memasarkan kretek dengan merek "Djarum" yang ternyata sukses di pasaran. Setelah kebakaran hampir memusnahkan perusahaan pada tahun 1963 (Oei meninggal tidak lama kemudian), Djarum kembali bangkit dan memodernisasikan peralatan di pabriknya. Pada tahun 1969, Djarum mulai mengeskpor produk rokoknya ke luar negeri. Pada tahun yang sama, Djarum memasarkan Djarum Filter, merek pertamanya yang diproduksi menggunakan mesin, diikuti merek Djarum Super yang diperkenalkan pada tanggal 21 April 1970. Saat ini Djarum dipimpin Budi Hartono dan Bambang Hartono, yang dua-duanya merupakan putra Oei. Djarum meluncurkan rokok Mild bermerek L.A. Lights pada tanggal 21 April 1999 dan Djarum BLACK pada tanggal 21 April 2000.Selain dunia rokok, Djarum juga dikenal aktif terlibat dalam dunia bulu tangkis. Klub bulu tangkisnya, PB Djarum, telah menghasilkan pemain-pemain kelas dunia seperti Liem Swie King dan Alan Budikusuma. Selain itu, sejak tahun 1998 perusahaan Djarum juga telah menguasai sebagian besar saham BCA.

3). Pariwisata
1. Wisata alam
·     Air Terjun Monthel, di Desa Colo
·     Air Tiga Rasa Rejenu, di Desa Japan
·     Air Terjun Gonggomino, di Desa Rahtawu
2.   Wisata Sejarah
·     Masjid Menara Kudus, di Desa Kauman, Masjid Menara Kudus (disebut juga dengan Masjid Al Aqsa dan Masjid Al Manar) adalah sebuah mesjid yang dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun 1549 Masehi atau tahun 956 Hijriah dengan menggunakan batu Baitul Maqdis dari Palestina sebagai batu pertama. Masjid ini terletak di desa Kauman, kecamatan Kota, kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Mesjid ini berbentuk unik, karena memiliki menara yang serupa bangunan candi. Masjid ini adalah perpaduan antara budaya Islam dengan budaya Hindu. Pada masa kini, masjid ini biasanya menjadi pusat keramaian pada festival dhandhangan yang diadakan warga Kudus untuk menyambut bulan Ramadan. Masjid ini didirikan pada tahun 956 H atau 1549 M. Hal ini dapat diketahui dari inskripsi (prasasti) pada batu yang lebarnya 30 cm dan panjang 46 cm yang terletak pada mihrab masjid yang ditulis dalam bahasa Arab. Masjid Menara Kudus ini memiliki 5 buah pintu sebelah kanan, dan 5 buah pintu sebelah kiri. Jendelanya semuanya ada 4 buah. Pintu besar terdiri dari 5 buah, dan tiang besar di dalam masjid yang berasal dari kayu jati ada 8 buah. Namun masjid ini tidak sesuai aslinya, lebih besar dari semula karena pada tahun 1918-an telah direnovasi. Di dalamnya terdapat kolam masjid, kolam yang merupakan "padasan" tersebut merupakan peninggalan kuna dan dijadikan sebagai tempat wudhu.Di dalam masjid terdapat 2 buah bendera, yang terletak di kanan dan kiri tempat khatib membaca khutbah. Di serambi depan masjid terdapat sebuah pintu gapura, yang biasa disebut oleh penduduk sebagai "Lawang Kembar".Di komplek Masjid juga terdapat pancuran untuk wudhu yang berjumlah delapan buah. Di atas pancuran itu diletakkan arca. Jumlah delapan pancuran, konon mengadaptasi keyakinan Buddha, yakni ‘Delapan Jalan Kebenaran’ atau Asta Sanghika Marga.
         Menara Kudus memiliki ketinggian sekitar 18 meter dengan bagian dasar berukuran 10 x 10 m. Di sekeliling bangunan dihias dengan piring-piring bergambar yang kesemuanya berjumlah 32 buah. Dua puluh buah di antaranya berwarna biru serta berlukiskan masjid, manusia dengan unta dan pohon kurma. Sementara itu, 12 buah lainnya berwarna merah putih berlukiskan kembang. Di dalam menara terdapat tangga yang terbuat dari kayu jati yang mungkin dibuat pada tahun 1895 M. Bangunan dan hiasannya jelas menunjukkan adanya hubungan dengan kesenian Hindu Jawa karena bangunan Menara Kudus itu terdiri dari 3 bagian: (1) kaki, (2) badan, dan (3) puncak bangunan. Menara ini dihiasi pula antefiks (hiasan yang menyerupai bukit kecil). Kaki dan badan menara dibangun dan diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk motifnya. Ciri lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen. Teknik konstruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat pada bagian kepala menara yang berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan empat batang saka guru yang menopang dua tumpuk atap tajug. Pada bagian puncak atap tajug terdapat semacam mustaka (kepala) seperti pada puncak atap tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa yang jelas merujuk pada unsur arsitektur Jawa-Hindu.
·     Museum Kretek, di Desa Getaspejaten, Bangunan Museum Kretek yang berdiri di atas areal seluas 2 hektar ini terbilang sangat indah dan megah. Di depannya ada dua bangunan terpisah berasitektur rumah adat Kudus dan surau gaya Kudus. Lokasi Museum ini tak terlalu sulit untuk dijangkau, baik dengan kendaraan pribadi maupun umum. Kota Kudus terletak 50 km timur Semarang, paling tidak bisa menghabiskan waktu kurang dari satu jam dari Semarang.
·     Tugu Identitas Kudus (Depan Matahari Departement Store), di Desa Getaspejaten, Tugu Identitas Kudus terdapat di tengah kota Kabupaten Kudus tepatnya di depan Matahari Departement Store. Tugu ini dibangun mulai tanggal 25 Mei 1986 dan peresmiannya dilakukan oleh Gubernur Jawa Tengah, H. Ismail, pada tanggal 28 September 1987. Bentuk keseluruhan Tugu Identitas Kudus merupakan stylisasi Menara Kudus, yang selama ini telah dinyatakan sebagai bentuk bangunan yang menjadi ciri khas daerah Kudus dan telah menjadi Lambang Daerah Kabupaten Kudus.
·     Situs Pati Ayam, di Desa Terban, Situs Patiayam merupakan daerah pegunungan dan secara geografis  terletak dalam dua wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Kudus dan Kabupaten Pati. Daerah Patiayam secara adminsitratif masuk ke dalam Desa Terban, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus. Secara morfologi daerah Patiayam  merupakan sebuah kubah (dome) dengan ketinggian puncak tertingginya (Bukit Patiayam) 350 meter di atas muka laut. Di daerah Patiayam ini terdapat batuan berumur plestosen yang mengandung fosil vertebrata dan manusia purba yang diendapkan dalam lingkungan sungai dan rawa-rawa. Balai Arkeologi Yogyakarta beberapa tahun terakhir secara kontinyu meneliti Situs Patiayam di Kabupaten Kudus. Dan pada tahun 2008 telah dilaksanakan penelitian kembali, tepatnya pada pertengahan akhir bulan April hingga awal Mei 2008. Penelitian terakhir memperoleh hasil yang sangat penting diantaranyta ditemukannya alat batu yaitu merupakan kelengkapan unsur budaya dari manusia purba di wilayah tersebut. Penelitian terakhir juga mengkonsentrasikan penelusuran posisi stratigrafis fosil fauna yaitu melakukan ekskavasi di lereng Bukit Senthong. Ekskavasi ini merupakan pengembangan lokasi dari ekskavasi tahun sebelumnya di lereng Gunung Slumprit, dan merupakan tindaklanjut dari dari hasil temuan gading Stegodon sepanjang 3.5 meter oleh masyarakat beberapa bulan sebelumnya.
         Temuan demi temuan yang terkumpul menambah kelengkapan koleksi dan informasi tentang peradaban manusia purba pada masa Plestosen di wilayah Jawa bagian utara. Data fauna yang telah teridentifikasi diperoleh 9 familia vertebrata antara lain Bovidae, Hominidae, Cervidae, Stegodon, Chamidae, Suidae, Elephantidae, Felidae, dan Hipopotamidae. Sedangkan dari avertebrata  terdiri dari familia Testunidae, Tridacna, dan Corbiculidae. Hasil tersebut mengindikasikan lingkungan biologis Patiayam pada kala plestosen mempunyai karakteristik tersendiri sesuai jamannya. Kehidupan tumbuhan dan binatang di daerah ini berdasarkan hasil penelitian para ahli memiliki jenis dan varian yang tidak jauh dengan daerah (situs) lain seperti Sangiran, Trinil, Ngandong dan lainnya di samping itu kondisi lingkungan yang tidak jauh berbeda.
          Tercatat beberapa penelitian yang dilakukan di situs ini sebelum kemerdekaan adalah oleh Van Es pada tahun 1931, setelah itu baru pada tahun 1978 dilakukan penelitian geologi oleh Sartono (Simanjuntak, 1984). Penelitian oleh Van Es pada tahun 1931 menemukan sembilan jenis sisa fosil vertebrata,  kemudian pada tahun 1978 Sartono dkk. dalam penelitiannya melengkapi temuan Van Es dengan menemukan 17 spesies hewan vertebrata serta ditemukannya sisa manusia Homo erectus. Dilengkapi dengan data geologis dan kronologis pembentukan batuan di daerah Patiayam  akan memberikan gambaran perkembangan bagaimana  lingkungan fisik dan biologis daerah Patiayam tersebut pada masa lalu kala plestosen dalam mendukung kehidupan manusia di dalamnya.
·     Rumah Tradisional Kudus, di sekitar Kauman, Rumah Adat Kudus merupakan salah satu rumah tradisional yang mencerminkan perpaduan akulturasi kebudayaan masyarakat Kudus. Rumah Adat Kudus memiliki atap yang disebut “Joglo Pencu”, dengan bangunan yang didominasi seni ukir empat dimensi (4-D) khas kota Kudus yang merupakan perpaduan gaya seni ukir dari budaya Hindu (Jawa), Persia (Islam), Cina dan Eropa. Rumah ini diperkirakan mulai dibangun sekitar tahun 1500-an Masehi dengan 95% kayu Jati asli.

3.        Wisata Keluarga                                             
·        The Peak View Waterboom, di Desa Lau
·        Waterboom Mulia Kajar, di Desa Kajar
·        Pesanggrahan Colo (Graha Wisata Muria), di Desa Colo
·        Bumi Perkemahan Abiyoso, di Menawan
·        Bumi Perkemahan Kajar, di Desa Kajar
4.     Wisata Religi (Ziarah)
·        Makam Sunan Kudus, di Desa Kauman
·        Makam Sunan Muria, di Desa Colo
·        Makam Sunan Kedu, (beliau berasal dari daerah Kedu dan menjadi murid Sunan Kudus), di Desa Gribig
·        Makam Syeh Sadzili (dekat Air Tiga Rasa), di Desa Japan
·        Makam Kyai Telingsing (Merupakan guru Sunan Kudus dan sesepuh dari Kota Kudus yang berasal dari China dengan nama asli The Ling Sing), di Desa Sunggingan.
5.     Wisata Belanja                                   
·        Pasar Raya Kliwon, di Desa Mlati Lor
·        Ada Swalayan, di Desa Purwosari
·        Ramayana Swalayan, di Desa Barongan
·        Kudus Extention Mall, di Desa Jati
·        Matahari Departement Store, di Desa Jati
4). Kuliner
·       Soto Kudus, Soto Kudus adalah soto yang berasal dari Kudus. Soto Kudus terdapat dua jenis soto ayam dan soto kerbau dengan bahan tambahan dalam soto, suwiran ayam goreng, tauge, bawang merah goreng, seledri, dan bawang putih goreng. Soto Kudus dalam penyajiannya memiliki tradisi dihidangkan dalam mangkuk kecil untuk satu porsi soto. Hidangan soto Kudus tidak hanya dapat ditemukan di Kudus, saat ini juga dapat ditemui di berbagai kota di Indonesia. Soto kudus tidak ada ada yang menggunakan daging sapi, karena orang kudus sangat menghormati orang hindu. itu berawal dari zaman dahulu ketika zaman sunan kudus, ketika itu dikudus banyak orang yang memeluk agama hindu dan sang sunan memerintahkan untuk semua warga kudus selalu menghormati orang hindu. budaya itu pun berlaku sampai sekarang.
·       Lentog Tanjung, Lentog artinya Lontong. Dahulu, penjualnya berasal dari Desa Tanjungkarang (Tanjung). Maka dinamai Lentog Tanjung. Namun kini telah menyebar ke seluruh pelosok kota Kudus. Yang unik dari lentog adalah ukuran lontongnya yang sebesar betis orang dewasa. Biasanya lentog tanjung dinikmati sebagai menu untuk sarapan, terdiri dari 3 bahan utama, ada lontong yang dipotong kecil-kecil, sayur gori (nangka muda) dan lodeh tahu. Lentog Tanjung terdiri dari 2 kata, lentog dan tanjung. Lentog atau yang biasanya disebut lontong adalah sebuah makanan yang yang terbuat dari beras yang dibungkus daun pisang . Sedangkan tanjung (Tanjungkarang) adalah sebuah desa yang berada tepatnya di kecamatan Jati Kab. Kudus, Jawa Tengah. Ya memang makanan khas pagi ini dahulu hanya berasal dari desa sana dan hanya dijual di sekitar daerah tersebut dan ramai pada saat hari Minggu atau libur. Sekarang pun masih ada, walaupun dibeberapa tempat di lain desa juga berdiri warung warung yang menawarkan lentog Tanjung. Di sajikan di atas piring kecil yang dialasi daun pisang serta taburan bawang goreng, membuatnya semakin gurih saat disantap. Selain tampilannya yang sederhana, untuk memakannya juga tidak menggunakan sendok, namun menggunakan suru (sendok dari daun pisang).
·        Garang Asem, Garang Asem merupakan masakan tradisional yang saat ini jarang ditemukan. Masakan tradisional ini berasal dari Provinsi Jawa Tengah. Beberapa kota di provinsi Jawa Tengah memiliki masakan tradisional ini. Antara lain Demak, Kudus[1], Pati, dan Pekalongan. Masakan tradisional ini terbuat dari ayam[2] yang sudah dipotong - potong menjadi bagian - bagian kecil, seperti dada, sayap, dan kepala. Kemudian dibungkus dengan daun pisang dan diberi bumbu dan air secukupnya. Setelah itu di kukus selama kurang lebih 45 menit. Agar garang asem tidak bocor tambahkan plastik tahan panas di dalamnya. garang asem Kudus, garang asem Kudus menggunakan pembungkus daun jati.Garang asem Pekalongan, di pekalongan masakan khas ini tidak menggunakan daun pisang sebagai pembungkusnya. Makanan ini disajikan di atas pering dan tidak menggunakan pembungkus daun pisang sehingga dapat langsung disantap.Garang asem Demak, garang asem Demak menggunakan pembungkus daun pisang.
·        Sate Kerbau Kudus, Sate Kerbau Kudus adalah makanan khas Kabupaten Kudus, yang terbuat dari daging Kerbau Karena di kudus ada kepercayaan melarang penyembelihan Sapi.
·        Jenang Kudus, Jenang Kudus adalah makanan sejenis dodol Garut yang berasal dari Kudus, Jawa Tengah. Jenang Kudus oleh- oleh khas dari Kudus. Jenang ini biasanya dijual dalam potongan-potongan kecil, dibungkus aluminium foil, dan dimasukkan ke dalam kemasan dus. Di Kudus, ada ratusan industri rumahan pembuat Jenang Kudus. Rasa dari Jenang Kudus adalah manis. Proses produksi dan adonan bahan tradisional mudah dikerjakan walau secara manual dan mempekerjakan Sumber Daya Manusia yang relatif banyak.
·        Pisang Byar, Pisang Byar memiliki keunikan tersendiri bagi wisatawan sebagai oleh-oleh khas asal Muria. Para Kinanti (pedagang gendong) biasanya menjual dalam keadaan mentah secara tundunan, dan jika sudah direbus dijual secara gandeng (2 buah). Segandeng pisang byar matang harganya dua ribu. Menurut Ir. Supari, MSi, pakar pertanian UMK, para wisatawan yang berkunjung ke Kudus hanya bisa mendapatkan pisang byar ini di kawasan Muria saja, karena di daerah lain belum dapat dibudidayakan dengan baik. Menurut Supari pisang byar atau pisang tanduk ini mempunyai nilai khas yang berbeda dengan bentuk pisang lainnya, dari ukurannya yang besar dan panjangnya mencapai 25-30cm, juga mempunyai rasa manis keasaman dan kenyal jika disantap. Pisang ini memiliki bentuk menarik dan cocok untuk dibudidayakan di daerah pegunungan seperti halnya di Kawasan Muria, sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi bagi masyarakat Muria. Dalam membudiyakan pisang byar masyarakat menganut culture teknis berdasarkan pada pola tanam secara turun-temenurun. “Rasanya itu seperti ada madu di tengahnya,” kata Anis Fajriyah, pelanggan yang sering menyempatkan beli pisang byar saat berziarah ke makan Sunan Muria. Merutnya, hal itu telah menjadi tradisi keluarganya dalam membeli pisang byar, untuk dijadikan oleh-oleh khas asal Colo pada kerabat terdekat.
·        Buah Parijotho, Buah Parijotho banyak dijajakan di sepanjang jalan menuju makam Sunan Muria. “Bentuknya itu bulat seperti klentheng (biji pohon randu) lebih besar sedikit ukurannya, dan berwarna menarik”, tutur salah satu tukang ojek. Tanaman khas yang tumbuh melimpah ruah di Pegunungan Muria itu, konon memiliki mitos yang turun-temurun sejak dahulu kala. “Dari mbah-mbah kita dulu, katanya kalau dimakan ibu hamil nanti anaknya yang lahir akan menjadi ganteng jika laki-laki, dan ayu jika perempuan”, ujar mbak Wati, penduduk setempat. Harga satu ikat kecil Parijotho dijual seharga Rp 5.000 ,-, sedangkan seikat agak besar dihargai cukup Rp 10.000 ,-. “Nek sak ombyok regane rong puluh ewu mbak,” terang Muti’ah pedagang asal Desa Japan yang sudah berjualan selama sepuluh tahun dan biasa buka dari jam 08.30 WIB hingga pukul 17.00 sore. Karena rasanya yang asam, pahit dan tidak enak jika dimakan langsung, biasanya ibu yang hamil menyiasatinya dengan cara dibuat rujak, pecel atau direbus sebelum Parijotho tersebut dikonsumsi. Umumnya ibu-ibu hamil yang mengonsumsi Parijotho saat usia kandungannya mencapai lima bulan ke atas, namun ada pula yang sudah mengonsumsi buah yang tumbuh di dataran tinggi di kawasan lereng Gunung Muria itu pada usia kehamilan baru mencapai dua hingga tiga bulan. Buah dengan nama latin Medinella speciosa L. ini secara medis sebenarnya memiliki kandungan bahan kimia saponin dan kardenolin pada daun dan buahnya, sedangkan pada buahnya mengandung flavonoid dan daunnya mengandung tannin yang berkhasiat sebagai obat sariawan dan obat diare . Menurut legenda yang dituturkan oleh pedagang oleh-oleh, buah Parijotho ini pernah dijadikan sebagai anting-anting Sunan Muria. Para pengunjung percaya bahwa Parijotho termasuk karomah dari Sunan Muria. Jika seorang ibu hamil makan buah ini, maka ia akan melahirkan anak yang tampan atau cantik. Yang dimaksud tampan atau cantik ini bukan dalam bentuk fisik saja, akan tetapi terlebih pada perilakunya kelak. Oleh karena itu, sekarang tanaman Parijotho ini sering dicari oleh para pengunjung, sehingga dapat mendongkrak harga tanaman tersebut. Benihnya saja sudah berharga Rp. 25.000,- per batang, terlebih jika sudah berbuah, maka harganya mencapai Rp. 100.000,- - Rp. 250.000,-. Meskipun demikian, belum banyak masyarakat yang membudidayakan tanaman tersebut, karena tanaman itu tumbuhnya di hutan-hutan.
·        Jambu Bol
·        Duku Sumber
·        Jeruk Pamelo







DAFTAR PUSTAKA

http://arkeologijawa.com/index.php?action=news.detail&id_news=13